Coretan Harian - Tentang Ayahku



Sudah hari ke 18 Ramadhan, lantas apa yang kuperoleh dari separuh Ramadhan ini. Selepas sahur terasa perut kembung penuh makanan. Bulan Ramadhan itu bulan penghematan, bukan bertambahnya uang jajan. Makanya perut pun menyesuaikan, seleranya cukup sekali makan dalam satu hari.

Alhamdulillah hari ini aku dikuatkan untuk membikin tulisan sebagai curah dan rekam gagasan dan keinginan. Kemarin tidak sempat karena hari disibukan dengan pekerjaan yang menyita kelelahan dan Minggu full istirahat dengan mengutak-atik gitar.

Aku terkadang ingat akan keluargaku, keluarga yang berantakan, Lalu tiba-tiba muncul kata-kata: aku pun tidak tahu kenapa aku seolah tak peduli. Ada ikatan darah diantara kami, tapi mungkin karena tak ada chemistry. Sayang-menyayangi itu mungkin haruslah diupayakan, bukan datang begitu saja tanpa angin dan hujan. Kebersamaan dalam susah senang akhirnya membuat saling terikat senasib sepenanggungan.

Bila persoalan hidup dijalani sendiri-sendiri tanpa saling menyapa mana bisa akhirnya saling membantu. Dengan terpaksa harus kuakui bahwa hidupku berantakan dengan terpaksa atau rela harus kuterima nasib kenyataan hari ini. Harapan ditinggal harapan dan kenyataan meninggalkan persoalannya sendiri. Semoga aku dapat menghadapi apapun secara jernih dan proporsional.

Dengan adanya diriku saat ini aku ingin membantu keluarga. Aku ingin memberi perhatian pada keluarga meskipun dengan cara apa dan mengambil jalan mana. Hidupku terus digerus waktu, bila pada akhirnya ambisi pribadi tak kunjung terwujudkan yang katanya demi kualitas diri untuk bakti keluarga, lebih baik apa yang dapat kuupayakan itulah yang kuperjuangkan.

Disini bukan maksud mengeluh atau mengharapkan ada yang membantu. Tapi ini semata-mata membuka peta permasalahan diri yang mesti segera dibenahi untuk hidup dalam kenyataan. Hidup jujur pada hati nurani menerima realitas diri.

Memang hubungan ayah-anak banyak terkisahkan mengalami kerenggangan, bahkan keretakan. Pada hidup orang besar maupun wong cilik. Disamping tak sedikit juga cerita yang mengungkap kemesraan pertalian mereka, sehingga mengguncang perasaan dunia. Salah satu cerita misalnya antara Hamka muda dengan ayahnya.

Diceritakan ayah Hamka—sebenarnya ini nama ayahnya yang dipakai anaknya—yang menikah lagi telah membawa cerita mendalam bagi memori kenangannya. Itu membuat tafsir poligami dalam tafsir al-Azhar karya monumentalnya menjadi krusial. Seolah beliau kecewa dengan praktik poligami yang dilakoni ayahnya.

Tapi cerita ini kuperoleh dari sumber kedua, sehingga keakuratannya dipertanyakan . Benarkah ceritanya begitu atau tidak, yang pasti pengalaman mudanya sebagai korban krenggangan hubungan anak-ayah sangat mempengaruhi jalan pikiran dan tafsirannya pada dogma agama.

Tentang ayahku, bagaimanapun itu adalah ayahku. Aku adalah sebentuk investasinya dengan rekayasa atau alamiah yang mengharuskannya. Tentangku dengan kesadaran diri ini haruslah bakti sepenuh hati dan terus melompat lebih tinggi.

Berbakti bukan semata-mata kewajiban fikih agama, tapi sadar adanya ikatan emosional dan spiritual sejak persenyawaannya dalam rahim. Kini masa tuanya sangat merindukan bakti anaknya. Dan dulu aku masa kecilnya membutuhkan kasih orang tuanya. Bila ini tak ada titik kesetimbangan, maka kamuflase akhirnya.

Aku harus ingat pada kebaikan ayahku yang dulu sempat terasa. Bagaimana ia datang ke tempat tinggalnya, ia menyediakan rencang makanan yang tak membiarkanku kelaparan. Bagaimanapun aku harus bangga pada satu sisi kelebihan ayahku: beliau pandai bergaul dan beretorika.

Semoga saja Idul Fitri kali ini hatiku diberi kelapangan, sehingga ada ruang kesediaan untuk berkunjung ke tempat tinggalnya yang entah dimana. Mintalah keridhaannya agar pada akhirnya aku tidak dibawa rasa bersalah diri sampai ujung penantiannya. Sehingga aku tak menyesal karena telah memenuhi bakti pribadi.
Tags:
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar